Tuesday, April 16, 2013

Mengunjungi Keraton Surakarta



Menyambung kisah sebelumnya, setelah tiba di Solo, kami berdua langsung bertanya kepada petugas Dinas Perhubungan yang kebetulan sedang bertugas, untuk mencapai ke arah Keraton Surakarta itu dengan angkutan berapa, kecuali menanyakan taksi tentunya, karena taksi itu kendaraan serba bisa. Bisa ngebut, bisa bantuin polisi nangkep penjahat, punya NOS, dan plat mobilnya bisa ganti sendiri. Oh itu cuma imajinasi gue karena keseringan nonton pilem taxi. Keren ya gue.

“Hmm” dan “Oh gitu” salah dua ucapan favorit gue mendengar penjelasan bapak-bapak petugas tersebut. Ya, jadi jika kalian turun di Tirtonadi, kalian gak akan bisa menggapai Keraton menggunakan angkutan umum. Paling tidak dapat dijangkau dengan becak dan jalan kaki (jika kuat).

Setelah dijelaskan, kami berdua langsung jalan ke pintu keluar, dan tiba-tiba ada bapak penarik becak yang langsung menghampiri kami.

“Mau kemana, Mas?” Tanya bapak itu ke gue.

“Ke Keraton, Pak.” Jawab gue.

“Oh yaudah, sama saya aja, yuk.” Beberapa kali gue selalu mendengar kata-kata ini, biasanya langsung gue tolak, tapi entah kenapa kali ini gue terima aja.

Lalu sempat ada tawar-menawar dengan bapaknya. Gue, sebagai penawar paling ulung, gagal di saat tawaran gue mentah-mentah ditolak bapaknya. Jadi, perjalanan ke Keraton,  kami berdua menggunakan becak seharga Rp.  20.000 sekali jalan. Oke, cukup murah, jadi perorang hanya dikenakan Rp. 10.000.

Di perjalanan, gue sempet foto-foto, biar kayak anak travel yang eksis aja gitu foto-foto di becak. Kasihan juga bapaknya, sebagai informasi, penarik becak di Solo kebanyakan orang tua berusia lanjut, gue dan Ryo yang membawa tas berat pun sungguh gak tega ngeliatnya. Ya, walaupun sangar, kita harus punya sisi sentimentilnya, kan? Hehe. 

Sempet beberapa kali, kayuhan si bapak terhenti di tengah jalan, tapi anehnya, enggak ada suara ngos-ngosan yang terdengar oleh gue. Bayangkan jika gue, bawa dua orang begitu juga pasti kebanyakan istirahatnya. Jadi, harga yang ditawarkan bapaknya juga terbayarkanlah oleh usaha si bapak. *pukul diri sendiri yang awalnya menawar harga*

Di Jawa, banyak juga pasar atau toko-toko barang bekas yang antik, sepanjang perjalanan gue ngeliat pasar seperti itu.

Ah gak kerasa, kami berdua sudah sampai di alun-alun. Pikiran gue Cuma satu, yaitu MAKAAAN!!. Laper banget gue, mungkin karena kebanyakan tidur, ya. Tapi, gak jadi makan, karena langsung solat di masjid Ageng Surakarta *ngemut Promag*

Masjidnya sedang direnovasi, mau foto-foto sampai gak enak, deh. Tapi, lega lho, sama aja kayak masjid di Jakarta, banyak orang solat juga. (yaiyalah namanya juga masjid)

Okeh, perjalanan berlanjut ke Keraton Surakarta. Terakhir kali itu gue ke siniiiiiii…….itu kapan, yah? Lupa. *ditonjok pemirsa*

Tiket masuk ke Keraton itu cuma Rp. 10.000. Murah kan dibanding tiket XXI? Apalagi, masuk ke dalamnya bisa belajar sejarah kasunannya.  Anjrit, gue udah cukup bijak belum, sih?  Kalau ingin membawa kamera kena charge, asalkan kalian pengen masuk ke museum keretanya. Asalkan lho, ya.

Pertama sih masuk cuma ke Aulanya dulu, belum ke Keraton. Bagus, kok. Tapi kurang bersih, sih.

entah siapa yang kurang bersih hmm

Setelah mengitari, kami akhirnya masuk ke area Keratonnya. Untung saja sebelum kami ada rombongan, jadi kami dibarengin sama mereka menjadi rombongan terakhir pada hari itu. Istimewa banget kan?

Sekarang, masuk Keraton itu sudah harus didampingi oleh Abdi Dalem atau Tour Guide-nya lah kalau dalam istilah keren. Bapaknya baik banget. Kami berdua yang cuma pake sandal gunung, dan gue bercelana pendek boleh masuk ke area Keraton, yang seharusnya masuk ke sana harus rapih dan menggunakan sepatu atau nyekerman. Sudah gue bilang, kami istimewa, kan? *ketawa santun*

Bangunan pertama yang dikasih liat itu namanya apa yah, apa sih? Yoh, lo tau, gak? Lupa lagi. *ngomong ke Ryo*
 Biasanya digunakan untuk melihat keadaan kota

Dan kebetulan banget, lagi ada acara jamuan dari Pakubuwono kepada tamunya yang berasal dari Malaysia. Bapaknya tiba-tiba ngomong, “Mas, mau masuk ke dalam juga, gak?”

“Masa boleh?” Jawab gue

“Iya boleh, asalkan Mas nikah sama keluarga keratonnya.” Kampret, gue dibercandain.

Seketika itu juga, Ryo ngeliat cucu dari Pakubuwono, katanya sih cantik. Katanya. Tapi, si Ryo ini paling pinter mengenali cantik tidaknya seorang wanita. Namun sayang, dia jomblo. *pukpuk Ryo*

 Calon suaminya cucu tersebut

Setelah bapaknya cerita, ternyata cucunya itu kerja di Bank Bukopin. Nah, kan gue ke sananya pas hari kerja, yah. Terus masih jam kerja juga, kok cucunya udah pulang aja, ya? Mikir gak? Itu pasti karena pengen menyambut gue aja, sih.  Cintanya yang tertunda. *masih berenang di alam mimpi*

Sebelum masuk area museum, kami minum air dari tempat pertapaan Pakubuwono yang terdahulu. Airnya sih seger, gelasnya yang enggak. Terus gue cuci muka pakai air itu, berharap aura gue semakin keluar. Yang  tadiya mendem, kayak wortel.

Entah kerasukan apa atau gue-nya sering senyum dibanding Ryo. Sama bapaknya gue dijadiin model foto dari seluruh objek tempat museum terus. Mungkin,karena gue ganteng.

Museumnya beragam, dari kereta kuda yang dipakai buat perang, alat peperangan, lukisan Pakubuwono terdahulu, dan alat-alat yang digunakan saat pernikahan anggota keluarga Keraton. Keren, tapi yak arena museum, jadi sepi. Paling rame pas di musim liburan anak sekolah aja. Oh iya, ada dandang yang gede juga, bisanya 6 bulan sekali dipakai buat masak di Keraton. Keren.


Tapi sayang, ada kereta putih, bagus. Namun gak boleh difoto. Kalian tahu kenapa? Itu karena kereta jenazah. Kalian mau menaikinya? Gue sih enggak, makanya gak difoto, deh.

Dan perjalanan di Keraton Surakarta berakhir. Ini bapaknya lagi foto sama gue. Tapi, lupa nanya namanya. Kebiasaan.

Yang paling seru tuh, pas pulang dari Keraton. Sempet duduk doang di alun-alun (karena gak tau arah jalan pulangnya) sampai ketemu orang dari Kalimantan, yang pengen ngedaki Lawu. Ah, gue kepengen kan jadinya. Sempet diajak sih.

Tadinya mereka pengen ke Keraton juga, tapi karena sudah tutup. Mereka langsung lanjut lagi entah kemana, gue juga bingung.

Balik lagi, dengan ke-soktahu-an gue, kami berdua jalan kaki pas pulangnya. Niatnya pengen nyari bus yang langsung ke arah Jogja. Tapi malah agak nyasar di Solo. Kotanya keren. Keuntungan nyasar ya itu, ketemu hal yang gak terduga. Bener, kan?

Dan akhirnya ada tukang nasi kucing. Makan deh, gak sampe sepuluh ribu. Lanjut jalan lagi. Kira-kira 3km. Pendek, kan? *ngeliatin Ryo yang ngos-ngosan*

Kita itu menuju Tirtonadi. Ingin ke Jogja, sebagai tujuan terakhir perjalanan ini. Sampai di sana sih. Sebelum Maghrib, jadi sempet beli air dulu, dan enaknya ketemu orang yang juga sehobby sama gue. Hiking.

Awalnya dia nanya sama gue, apa Cuma seneng backpackeran aja. Gue jawab enggak, lebih tertarik hiking sebenarnya. Tapi karena lagi gak ada partner saat  itu, gue Cuma backpack, deh.

Dia cerita dulu sebelum reformasi, dia sering hiking. Semeru dan Rinjani lewat, dan anehnya ke Rinjani gak sampai 200rb.  Kampret. Kalau sekarang itu berapa yah. *ngitungin recehan*

Ngobrol-ngobrol asik deh. Seru juga ngobrol sama orang baru yang ketemu di jalan. Sampai akhirnya, bus memisahkan kita, walaupun di satu bus yang sama. Hiks.

And here we go, Ngayogyakarta.

Pelajaran gue ya, kalau di jalan jangan sok-sok malu bertanya. Nanti malah nyasar. Backpack itu kan sebenarnya nyari teman baru juga, bukan hanya menikmati liburan aja.
Salam,

@benbayoga

0 comments:

Post a Comment