Sunday, March 30, 2014

Gunung Guntur Episode 1

Akhirnyaaaaaaa, *melepaskan dahaga*
Di awal tahun 2014 ini, gue bisa mendaki gunung yang sebelumnya belum pernah didaki atau dijalani, umm akhirnyaaa. Setelah agak lama cuti mendaki, ye gak? *alias ga ada ajakan*

Kisah ini dimulai dengan cerita... Wait, drumroll, please? *drumroll*
Sebut saja dia Mawar. Heh, bukan bukan.Tapi badewai, Mawar kasihan juga ya disebut mulu kalo ada kasus pembunuhan. Iya kan? Kasihan, kan? Sedih, kan? *sesunggukan*

Oke,

"Ben, naik yuk!" wasap dari seorang teman bernama Rizki.
"Naik mana?" Gue menjawab antusias.
"Cikuray aja, yuk."

Beberapa menit kemudian, eh sejam kali ya. "Guntur aja yuk, mumpung ada yang mandu."
Gue semakin antusias dong, Guntur gitu lho. Bewok, muka arab, gede. Ya kan? Eh sorry, itu mah temen kantor gue.

Sedikit informasi, Gn Guntur ini terletak di kawasan Garut, berdekatan dengan Gn Papandayan dan Cikuray. Juga memiliki ketinggian sekitar 2.249 mdpl. Gn Guntur juga merupakan gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Itulah beberapa hal yang dicatut dari Wikipedia.

2.249 mdpl? Pendek banget dong,Ben? Jangan pernah nanya begituan, ya. Naik gunung tuh jangan mikir cuma mdpl-nya aja. Mari kita lanjutkan, saudara-saudari.

"Oke deh, Rim. Siap aja." Wasap terakhir gue beberapa minggu sebelum pemberangkatan.

 H-1 pemberangkatan, Rizki wasap gue lagi. “Ben hujan banget, abis liat forecast, di sana hujan terus.”
“Iya hujannya gede banget kayaknya.” Seketika kami berdua galau. Namun emang dasarnya Gusti Alloh sudah mengijinkan, cuaca esok harinya pun lumayan kondusif, gitu. Tau kondusif, ga? Kalo gue sih tau-tauan aja gitu, biar keliatan intelek kaya caleg. Hehe.

Hari H.

Alhamdulillah berangkat juga, setelah tertahan agak lama di kantor, sehingga persiapan menjadi tidak karuan. Banyak hal yang gak masuk atau tertinggal, seperti kopi dan malu. Yang kedua sih, apa emang gue gak punya, ya?

Tim ini berisi Jenot, Mba Pira, Om Mendoan, Om Darwin, Mas Jafar, Ka Iki, Gue, dan Timnya Obet(Obet bukan ya, lupa gue). Ya beberapa sudah kenal, cukuplah memulai pendakian jika udah mengetahui karakter masing-masing.

Here we go.

“Ben, lontong lagi ya isinya” Jenot menunjuk tas gue.
“Iya dong, ngapain berat-berat.” Sambil sesunggukan. Hiks.
Kampret emang Jenot.

Entah karena udah malem atau gue udah ngantuk. Kendaraan yang gue naiki aja gak tau namanya apa, yang pasti sih bentuknya bis, yang juga merogeh kocek Rp. 40.000. Termasuk murahlah, mengingat BBM yang naik menjulang tinggi.

Perjalanan di bis ini seru banget. Iya seru banget, deh. Gue aja ga bisa tidur tidur mulu. Dari yang kepalanya di kiri sampai turn over ke kanan. Ganteng banget, kan?
 
Entah memakan waktu berapa lama, gak terasa kami udah di Garut aja, ya iyalah gimana mau kerasa kalo tidur terus.  Kami turun di SPBU Pertamina, dengan kepala masih pusing akibat ketiduran di bis. Seperti pendaki  umumnya, kami meneduh sebentar ke masjid. Selain untuk re-packing, kami juga melanjutkan istirahat yang terganggu tadi.

Semuanya tidur, gue gak bisa. Ini pasti gara-gara mikirin dia ini. Lewat.

Pagi harinya, setelah semua bersiap dan sarapan. Kami disambut dengan wajah Gn Guntur yang tertutup kabut. Agak sedih sih, pikirannya pasti kehujanan di jalan  seperti pendakian yang gue lalui sebelumnya. Kehujanan terus.

Kemudian kami mencari truk pengangkut pasir dan nego dengan mamamg supir. Oh iya, efwaiay (red FYI) untuk menuju lokasi pendakian atau tambang pasir, lebih baik menggunakan truk pengangkut pasir, mengingat lokasinya yang sangat jauh dari jalan raya.

Mulailah pendakian dengan doa dan teriakan. Boleh teriakan keras, atau manja, mungkin juga teriakan hati yang teramat dalam. Pokoknya biar memicu semangat, berteriaklah sebelum mendaki,jika teriakan lo agak lebay, biarin aja.

mana teriakannya?

Sempet juga kami salah jalur, dan diteriaki penambang pasir dengan ucapan kasarnya. Karena dalam bahasa Sunda yang tak gue mengerti, gue lanjut aja, namun tau maksudnya. Sedih juga, ya.

Dan inilah kejutan dari 2.249 mdpl.  Jangan nyangka dengan ketinggian segitu, kalian bakal dapat bonus yang banyak. Boro-boro bonus, air pun juga tak ada. Treknya mendaki terus tanpa henti. Agak kasihan juga sama dengkul gue yang udah tidak kuat seperti dulu ini. Bukan, bukan, bukan karena sering berurusan dengan sabun, ya.

Bayangkan? Berapa derajat itu?


 
Tingkat kelelahan yang berbeda menimbulkan perpecahan kelompok, yang swipper di belakang, yang masih muda di tengah, yang dengkulnya renta di paling depan sepeti gue ini.

“Ben, Jafar gak kuat tuh kayaknya. Lo bawain kameranya, tuh.” Rizki langsung mengambil kamera yang dibawa Jafar dan meletakkannya di punggung gue. Alhasil, bawaan gue menambah sekitar 3 kilo, yaampun mimpi apa gue di bisa, ya.

Biar kayak pendaki hebat, gue terima kamera tersebut dengan lapang dada. Dan beberapa meter kemudian, bentar-bentar,  istirahat dulu. Iya, gue hampir mogok karena ngebawa tenda dan kamera DSLR. Kampret. Asem.


Kekuatan marah gue meningkat, dan menjadi uring-uringan. Baru kali ini, gue mendaki uring-uringan begitu. Biasanya sih, selalu ceria gitu.

Pendakian cukup lancar, sesuai dengan itinerary yang sudah disepakati bareng-bareng. Sampai di batu besar sekitar jam 10.45, kemudian istirahat-istirahat lucu, gitu. Makan roti pake susu. Susu perawan sapi. Emang perawan punya air susu, ya?

 
Korban 2249 mdpl

Gue? Apa yang gue lakuin? Orang ganteng itu ngapain aja sih? Begitu juga gue berarti. Gue kan ganteng, jadinya yang gue lakuin adalah TIDUR. Lumayanlah 15-30 menit, mah.

Gede banget ye gue?

Mendung datang, air rintik pun menghampiri. Siang itu, air berlomba-lomba menghampiri kami. Tidak lupa, gemuruh angin yang membabi buta juga mengunjungi kami.

(Continue)

Sampai sini dulu, ah. Lanjutin nanti, ya.

Ini Garut dari Guntur.