Sunday, June 9, 2013

Mandalawangi


Tiada habis gue berpikir, tempat ini indah banget. Perjuangan naik gak sia-sia, meskipun di malam hari, keindahannya tak dirusak sang bulan. Malah tempat ini dan bulan memadu kasih, seakan-akan keduanya menyatu, beriringan dan bermesraan di tengah-tengah gue. Aku iri. Mereka tak memedulikan gue. Dan gue hanya bisa mangap melihat keindahan malam di tempat ini.

Tempat dimana seharusnya kita merenung, membayangkan malam di tengah kebisingan siang yang mengganggu tadinya. Atau harus mendiskusikan tentang hidup? Iya mendiskusikan berduaan dengan alam yang lirih.

Nama tempatnya, Mandalawangi.

Tidur gue gak nyenyak, karena sepanjang hari ditempa dengan hujan, badan gue linu seperti orang tua. Dan entah kenapa, gue memutuskan bangun malam atau malah dini hari itu. Iya, kira-kira jam 1 atau 2, gue bangun. Sleeping Bag gue agak lembab, dan itu membuat sukses si Nicholas ini bangun. Bangun dengan kepala yang berat, hidung mampet. Tadinya, gue hanya ingin tidur nyenyak sampai pagi, sampai matahari terbit dari Timur bersamaan dengan bulan yang mendarat cantik di ufuk Barat.

Iya, rencana gue hanya tipuan belaka. Di malam itu, gue bangun, keluar tenda, tempat dimana gue bisa merasakan kehangatan di ketinggian yang membuat dingin. Temen gue sebelum tidur bilang, “Hari ini full moon, lho. Tapi hujan, mungkin jadi gak  keliatan, padahal gue nungguin itu.”.

Memang, tadinya sepanjang malam, di Mandalawangi turun hujan yang agak deras. Dan sukses buat gue dan temen-temen untuk meringkuk aja di bawah tenda, sampai akhirnya kami tidur sebentar. Mungkin juga, gue hanya yang tidur sebentar.

Ternyata, pas gue keluar. Gak, gue gak bisa berkata-kata. Pemandangan malam di tempat ini cantik. Gue melihat ke atas, dan yah gue beruntung. Bulan purnama  bersinar benderang, menyinari gue dan temen-temen di Mandalawangi. Meskipun dingin, angin menusuk gue secara perlahan,  meremas lembut bulu-bulu di sekitar badan, gak menyurutkan gue untuk keluar lebih jauh.

 
Rizki, dia udah keluar duluan ternyata, motret sana-sini. Namun modelnya belum ada,  gue siap karena gue Nicholas. #dijorokin

Ternyata, yang lainnya sudah bangun di dalam tenda, memasak di waktu dini hari. Membuat persediaan air menipis saja. Sebagai menteri perairan di gunung, gue sebenarnya pengen banget ngambil, tapi gue harus memberi kesempatan  kepada orang lain untuk melanjutkan perjuangan gue bukan?Menurut kalian, gue jadi bijaksana gak sih? Pasti deh, gue sadar banget emang.

Gak gue sangka, para pendaki yang lain malah teriak-teriak buat nanya skor akhir final liga Champions antara Muenchen dan Dortmund. Mereka bersaut-sautan, melempar guyonan membuat kebisingan di malam yang indah ini.

Gue dan yang lain malah asik foto–foto aja. Gak akan mau ngelepas suasana yang indah ini, gue percaya setiap kegiatan pasti membutuhkan record atau rekaman. Di mana, suatu saat, momen-momen ini yang bakal gue ceritain atau gue kenang.

Ah, mungkin karena kesialan gue, malam ini mengambil air lagi di aliran air. Saat jalan ke menelusuri aliran, gue terpana, di depan gue terpampang pemandangan Gn. Salak di hiasi awan. Indah. Gue gemeteran. Iya, itu karena gue memang masih kedinginan.

Berikut foto-fotonya, karena kemampuan mengambil foto yang gue menurun ke level pemula, semua gambar diambil teman-teman gue, entah Tebe atau Rizki.


 bukan sponsor




Seperti biasa aja sih, ini dapet pesan dari Nicholas. "Jaga alam dengan baik yah, bumi sudah semakin tua."

Nicholasnya mau balik ke kahyangan ya


Sepercik kata-kata yang indah cukup di mata

Mandalawangi.
Tempat terindah yang pernah terjamah
Di antara sekumpulan Edelweis yang cantik
Menjadi kesatuan yang damai
Aku hanya merindukan tempat ini.
Mandalawangi
Gemuruh angin yang lembut memaksaku menahan dingin
Membuatku keluar dari persembunyian
Mandalawangi
Ku kenang kamu, ku rindu kamu
Paksa aku kembali merekam segala keindahan yang kau berikan
Mandalawangi
Jaga alammu sampai nanti aku kembali.

Saturday, June 1, 2013

Bersimpuh Darah Menuju Mandalawangi di Pangrango



Dari mana kita mulai bercerita yah? Hmm, sebenernya hutang tulis gue banyak, liburan di Jogja belum selesai, belum lagi yang ditinggalin cewe, terus belum lagi sepatu baru gue yang belinya mahal malah bikin sakit. Tapi tetep harus disyukuri, namanya juga hidup.

Kok malah ngelantur yah? #ditoyorpembaca

Tulisan kali ini tentang pendakian, bukan daki yang ada di badan gue ya. Itu namanya daki. Bukan ngedaki.

Tapi kan pengucapannya sama Ben?

Iya tau gue, itu disebutnya homofon dan homograf, tetapi pengertian berbeda.

Wah Ben pinter yah?

Ya gitu deh, banyak yang fitnah begitu sih emang.

Pangrango. Hmm, okay. Sebagai nubie, gue gak tau medan, ada ajakan naik, ikut aja. Yang penting modal semangat dan gaya necis. Soalnya setau gue, yg daki Gn Gede atau Pangrango banyak cewek cakepnya. Ya, semoga aja bisa dapet gitu.

Perjalanan kali ini agak ekstrem, bukan karena pas naiknya. Namun karena gue waswas gak bisa ikut. Alasan pertama itu, packingan aja belum ada, lalu alasan kedua, gue masih duduk manis di kantor untuk ngelembur. Maklum masih anak baru kerja. Alasan ketiga, gue waswas besoknya disuruh lembur sama atasan.

Semua alasan itu kalah sodara-sodara, karena Mendalawangi melambai-lambai dari kejauhan. Gue di sini, berasa mirip Nicholas Saputra, dan tentunya gak manggil-manggil Cinta. Karena kali ini, gue gak menceritakan film AADC.

Jadi sebut saja gue, Nicholas.

Gn. Pangrango itu di kawasan Cibodas. Jadi gue bersama Rizki, touring. Destinasi pertama ke rumah Citra. Namanya sih Citra, ayu banget gitu namanya, eh pas ngobrol malah nyablak. Makan apa yah dia kemarin-kemarin.

Sudah lupakan.

Lalu tujuan berikutnya, Cipanas. Nengokin istana, maklum, gue itu……..tukang kebunnya. #guntingrumput.

Karena carrier gue sisaan packingan minggu lalu (yang rencananya ke Ciremai),dan juga karena waktu yang tidak memungkinkan menambah apa-apa,fix carrier gue itu cuma menang tinggi tanpa berat yang ada. Boleh dikatakan, bobotnya diabaikan.

Oh iya, ke Cipanas itu, ke rumahnya Jeni, temen pendakian Papandayan waktu itu. Berharap akan tidur enak dan dapet sarapan gratis di pagi harinya. Sesampai di rumahnya, ternyata jam 1-an gitu. Udah malem banget, gue padahal gak boleh keluar malem. Maklum masih perjaka.

Pagi harinya.

Tidur gue gak nyenyak, ternyata semaleman gue tidur agak melantai. Jadinya kedinginan deh. Yang lain pada mandi, gue enggak mandi, maklum gak bawa apa-apa selain handuk kenek gue.

Oh iya, ternyata Simaksinya itu dengan nama berbeda yang didaftarkan. Tapi karena gue orang ganteng, namanya tetap sama, dong. 

Sebelum jalan, kita sarapan spaghetti. Kalian tau spaghetti gak? Kalo gak tau mah, jangan mainan sama gue. Gak lepel. Kayak gue dong, sarapan spaghetti dikit aja, langsung mules. #eluselusperut

Here we go.

Pendakian dimulai.
  
Gak pemanasan, gak ada persiapan. Fix banget kaki gue langsung lemes pas awal-awal mendaki. Udah jalanan batu semua lagi. Tetapi masih landai sih di sini, sampai di jembatan aja gak sampe sejam. Jembatan apasih itu namanya. Gak tau gue.

Di jembatan, ya kita tetep kudu musti narsis dong, ya. Namanya juga orang kota.

 
Setelah jembatan, udah mulai terpisah-pisah tuh rombongan. Yang dengkul racing jalan duluan, yang dengkulnya medioker di tengah-tengah, dan yang dengkulnya agak mencong paling belakang. Gue sih awalnya racing, terus lama-lama melambat. Eh, malah disuruh nungguin yang belakang. Hiks.

Jangan tanyain gue tentang pos 1 itu apa namanya, pos 2 apa. Karena serius, gue gak tau namanya. Yang jelas, kita itu pada janjian ishoma di Kandang Badak.

Gue agak males, pas ngeliat orang banyak ke air terjun tanpa bawa tas gede. Wong ada orang ganteng kayak gue kesusahan lagi manggul tas gini juga, tetep aja gak ada yang bantuin. Kalian jahat. Jahat jahat jahat.

Setelah jembatan, ada air terjun, dan selanjutnya air panas. Buat yang pakai kacamata nih, ya. Dilepas aja dulu kacamatanya, entar kayak gue lagi, karena berembun, malah gak keliatan jalannya. Dan tiba-tiba, kaki gue nyemplung ke airnya.  Sob, panas sob, panaaaaaaas.

 modelnya merusak nih

Perjalanan gue sendirian. Setelah air panas, gue menunggu yang paling belakang, yang dengkulnya agak mencong. Nunggu setengah jam, belum keliatan juga, dan gue langsung mendaki sebentar, eh malah keram.  Pesen gue sih, olahraga dulu deh sebelum naik. Biasanya sih gue futsal, tetapi udah 2 minggu gak difutsalin tuh badan.

Pokoknya, naik gunung itu yang penting ya, ‘Safety First’ dulu.

Lanjut? Kalian luaar biasaaaaa. 

Eh pas keram-keram gitu, gue disuruh motoin orang. Agak sebel sih, tapi pas diperhatiin, kayaknya gue kenal tuh sama carrier dan coverbagnya. Kayak punya abang gueee. Tebak selanjutnya apa?

Tapi itu bukan abang gue, tasnya lagi dipinjem sama temennya.
Setelah gue tanya-tanya (baca: wawancara), dia ternyata naik dari 6.30,  tetapi malah baru nyampe setelah gue. Katanya sih, kebanyakan istirahat. Gokil.

Keram udah menghilang sebentar, langsung lanjut lagi. Gue memang luar binasaaaaa. Tapi tetep aja, yang paling belakang gak ketemu.

Jalan udah agak mencong, setiap ngeliat orang yang turun, gue tanya, “Mas, Kandang Badak masih jauh gak?” Jawabnya beragam, tetapi kesimpulannya, “Udah bentar lagi kok, Mas.”. Tau gak sih? Kalo nanya sama pendaki emang gitu, bilangnya sebentar lagi, nyatanya tapi masih jauh. Ngeselin emang.

Jalan udah cukup lama, akhirnya nyampe juga di Kandang Badak. Ah, makan siang, im coming. Walaupun pake nasi tadi pagi. Tapi tetep kenyang. Gue di sini aja udah kedinginan. Parah. Besok-besok,  latihan menahan dingin aja dulu di……..mall. 

Setelah ishoma, kita masih nungguin yang paling belakang. Iya beda sejam ternyata, jauh banget. Oh iya, dua orang yang dengkulnya racing udah jalan duluan. Namanya Rizki dan Kang Ardi. Keren tuh mereka berdua, membabat Kandang Badak sampai Mendalawangi aja cuma 2 jam.


Gue juga bisa sih sebenernya, tapi ya gitu deh.

Awalnya gue duluan pas di rombongan yang kedua jalan, tetapi malah jadi belakangan karena ngasih lewat. Lama-lama malah ketinggalan jauh. 
Kondisi jalan menuju puncak.





 masih aja narsis? #toyorjeni #ditoyorbalik

 

Akhirnya gue nungguin yang paling belakang aja. Dan karena rasa bertanggung jawab gue yang tinggi, dimana ada cewe jalan sendirian kan gak asik.

Tapi kok, Citra ini minta break mulu lagi. Semakin lama deh gue di belakang.

SAMPAI-SAMPAI KEHUJANAN LAGIIIIII. 

AAAAAAAAAAAH. Kok malah kayak suara cewe abis disenggamai sih? Eh kok gue tau ya bunyinya? Aku khilaaaaaaaf. Aku koootooooor. #bersihinbadan

Gue gak enak banget jika disuruh jalan duluan di tengah-tengah hujan gitu. Gue udah pernah ngerasain jalan hujan, sendirian dan malam. Sepi. Diem dikit aja langsung dinginnya minta ampun. 

Dan kira-kira hampir 2 jam kehujanan, kita sampai juga di Mendalawangi. Yang sebelumnya kita nanya-nanya orang yang udah nyampe duluan. 

Dan akhirnya sampai juga di tendaaaaaaaa. Langsung makaaann. Soalnya Nicholas laper.


Di tengah malam yang dingin aja kita sempet foto-foto, lho. Dibawahi cahaya rembulan Mandalawangi. Lain kali aja ah dishare-nya. Mau ngasih pic pas sunrise aja nih di Puncak.





Rizki, gue, Ria, Jeni, Tebe, Citra, Kang Ardi

Ah, yang terakhir. Buat kamu nih. Dapet salam dari aku.
ganteng kan? Gunungnya.

Tuesday, April 16, 2013

Mengunjungi Keraton Surakarta



Menyambung kisah sebelumnya, setelah tiba di Solo, kami berdua langsung bertanya kepada petugas Dinas Perhubungan yang kebetulan sedang bertugas, untuk mencapai ke arah Keraton Surakarta itu dengan angkutan berapa, kecuali menanyakan taksi tentunya, karena taksi itu kendaraan serba bisa. Bisa ngebut, bisa bantuin polisi nangkep penjahat, punya NOS, dan plat mobilnya bisa ganti sendiri. Oh itu cuma imajinasi gue karena keseringan nonton pilem taxi. Keren ya gue.

“Hmm” dan “Oh gitu” salah dua ucapan favorit gue mendengar penjelasan bapak-bapak petugas tersebut. Ya, jadi jika kalian turun di Tirtonadi, kalian gak akan bisa menggapai Keraton menggunakan angkutan umum. Paling tidak dapat dijangkau dengan becak dan jalan kaki (jika kuat).

Setelah dijelaskan, kami berdua langsung jalan ke pintu keluar, dan tiba-tiba ada bapak penarik becak yang langsung menghampiri kami.

“Mau kemana, Mas?” Tanya bapak itu ke gue.

“Ke Keraton, Pak.” Jawab gue.

“Oh yaudah, sama saya aja, yuk.” Beberapa kali gue selalu mendengar kata-kata ini, biasanya langsung gue tolak, tapi entah kenapa kali ini gue terima aja.

Lalu sempat ada tawar-menawar dengan bapaknya. Gue, sebagai penawar paling ulung, gagal di saat tawaran gue mentah-mentah ditolak bapaknya. Jadi, perjalanan ke Keraton,  kami berdua menggunakan becak seharga Rp.  20.000 sekali jalan. Oke, cukup murah, jadi perorang hanya dikenakan Rp. 10.000.

Di perjalanan, gue sempet foto-foto, biar kayak anak travel yang eksis aja gitu foto-foto di becak. Kasihan juga bapaknya, sebagai informasi, penarik becak di Solo kebanyakan orang tua berusia lanjut, gue dan Ryo yang membawa tas berat pun sungguh gak tega ngeliatnya. Ya, walaupun sangar, kita harus punya sisi sentimentilnya, kan? Hehe. 

Sempet beberapa kali, kayuhan si bapak terhenti di tengah jalan, tapi anehnya, enggak ada suara ngos-ngosan yang terdengar oleh gue. Bayangkan jika gue, bawa dua orang begitu juga pasti kebanyakan istirahatnya. Jadi, harga yang ditawarkan bapaknya juga terbayarkanlah oleh usaha si bapak. *pukul diri sendiri yang awalnya menawar harga*

Di Jawa, banyak juga pasar atau toko-toko barang bekas yang antik, sepanjang perjalanan gue ngeliat pasar seperti itu.

Ah gak kerasa, kami berdua sudah sampai di alun-alun. Pikiran gue Cuma satu, yaitu MAKAAAN!!. Laper banget gue, mungkin karena kebanyakan tidur, ya. Tapi, gak jadi makan, karena langsung solat di masjid Ageng Surakarta *ngemut Promag*

Masjidnya sedang direnovasi, mau foto-foto sampai gak enak, deh. Tapi, lega lho, sama aja kayak masjid di Jakarta, banyak orang solat juga. (yaiyalah namanya juga masjid)

Okeh, perjalanan berlanjut ke Keraton Surakarta. Terakhir kali itu gue ke siniiiiiii…….itu kapan, yah? Lupa. *ditonjok pemirsa*

Tiket masuk ke Keraton itu cuma Rp. 10.000. Murah kan dibanding tiket XXI? Apalagi, masuk ke dalamnya bisa belajar sejarah kasunannya.  Anjrit, gue udah cukup bijak belum, sih?  Kalau ingin membawa kamera kena charge, asalkan kalian pengen masuk ke museum keretanya. Asalkan lho, ya.

Pertama sih masuk cuma ke Aulanya dulu, belum ke Keraton. Bagus, kok. Tapi kurang bersih, sih.

entah siapa yang kurang bersih hmm

Setelah mengitari, kami akhirnya masuk ke area Keratonnya. Untung saja sebelum kami ada rombongan, jadi kami dibarengin sama mereka menjadi rombongan terakhir pada hari itu. Istimewa banget kan?

Sekarang, masuk Keraton itu sudah harus didampingi oleh Abdi Dalem atau Tour Guide-nya lah kalau dalam istilah keren. Bapaknya baik banget. Kami berdua yang cuma pake sandal gunung, dan gue bercelana pendek boleh masuk ke area Keraton, yang seharusnya masuk ke sana harus rapih dan menggunakan sepatu atau nyekerman. Sudah gue bilang, kami istimewa, kan? *ketawa santun*

Bangunan pertama yang dikasih liat itu namanya apa yah, apa sih? Yoh, lo tau, gak? Lupa lagi. *ngomong ke Ryo*
 Biasanya digunakan untuk melihat keadaan kota

Dan kebetulan banget, lagi ada acara jamuan dari Pakubuwono kepada tamunya yang berasal dari Malaysia. Bapaknya tiba-tiba ngomong, “Mas, mau masuk ke dalam juga, gak?”

“Masa boleh?” Jawab gue

“Iya boleh, asalkan Mas nikah sama keluarga keratonnya.” Kampret, gue dibercandain.

Seketika itu juga, Ryo ngeliat cucu dari Pakubuwono, katanya sih cantik. Katanya. Tapi, si Ryo ini paling pinter mengenali cantik tidaknya seorang wanita. Namun sayang, dia jomblo. *pukpuk Ryo*

 Calon suaminya cucu tersebut

Setelah bapaknya cerita, ternyata cucunya itu kerja di Bank Bukopin. Nah, kan gue ke sananya pas hari kerja, yah. Terus masih jam kerja juga, kok cucunya udah pulang aja, ya? Mikir gak? Itu pasti karena pengen menyambut gue aja, sih.  Cintanya yang tertunda. *masih berenang di alam mimpi*

Sebelum masuk area museum, kami minum air dari tempat pertapaan Pakubuwono yang terdahulu. Airnya sih seger, gelasnya yang enggak. Terus gue cuci muka pakai air itu, berharap aura gue semakin keluar. Yang  tadiya mendem, kayak wortel.

Entah kerasukan apa atau gue-nya sering senyum dibanding Ryo. Sama bapaknya gue dijadiin model foto dari seluruh objek tempat museum terus. Mungkin,karena gue ganteng.

Museumnya beragam, dari kereta kuda yang dipakai buat perang, alat peperangan, lukisan Pakubuwono terdahulu, dan alat-alat yang digunakan saat pernikahan anggota keluarga Keraton. Keren, tapi yak arena museum, jadi sepi. Paling rame pas di musim liburan anak sekolah aja. Oh iya, ada dandang yang gede juga, bisanya 6 bulan sekali dipakai buat masak di Keraton. Keren.


Tapi sayang, ada kereta putih, bagus. Namun gak boleh difoto. Kalian tahu kenapa? Itu karena kereta jenazah. Kalian mau menaikinya? Gue sih enggak, makanya gak difoto, deh.

Dan perjalanan di Keraton Surakarta berakhir. Ini bapaknya lagi foto sama gue. Tapi, lupa nanya namanya. Kebiasaan.

Yang paling seru tuh, pas pulang dari Keraton. Sempet duduk doang di alun-alun (karena gak tau arah jalan pulangnya) sampai ketemu orang dari Kalimantan, yang pengen ngedaki Lawu. Ah, gue kepengen kan jadinya. Sempet diajak sih.

Tadinya mereka pengen ke Keraton juga, tapi karena sudah tutup. Mereka langsung lanjut lagi entah kemana, gue juga bingung.

Balik lagi, dengan ke-soktahu-an gue, kami berdua jalan kaki pas pulangnya. Niatnya pengen nyari bus yang langsung ke arah Jogja. Tapi malah agak nyasar di Solo. Kotanya keren. Keuntungan nyasar ya itu, ketemu hal yang gak terduga. Bener, kan?

Dan akhirnya ada tukang nasi kucing. Makan deh, gak sampe sepuluh ribu. Lanjut jalan lagi. Kira-kira 3km. Pendek, kan? *ngeliatin Ryo yang ngos-ngosan*

Kita itu menuju Tirtonadi. Ingin ke Jogja, sebagai tujuan terakhir perjalanan ini. Sampai di sana sih. Sebelum Maghrib, jadi sempet beli air dulu, dan enaknya ketemu orang yang juga sehobby sama gue. Hiking.

Awalnya dia nanya sama gue, apa Cuma seneng backpackeran aja. Gue jawab enggak, lebih tertarik hiking sebenarnya. Tapi karena lagi gak ada partner saat  itu, gue Cuma backpack, deh.

Dia cerita dulu sebelum reformasi, dia sering hiking. Semeru dan Rinjani lewat, dan anehnya ke Rinjani gak sampai 200rb.  Kampret. Kalau sekarang itu berapa yah. *ngitungin recehan*

Ngobrol-ngobrol asik deh. Seru juga ngobrol sama orang baru yang ketemu di jalan. Sampai akhirnya, bus memisahkan kita, walaupun di satu bus yang sama. Hiks.

And here we go, Ngayogyakarta.

Pelajaran gue ya, kalau di jalan jangan sok-sok malu bertanya. Nanti malah nyasar. Backpack itu kan sebenarnya nyari teman baru juga, bukan hanya menikmati liburan aja.
Salam,

@benbayoga