***
Mendaki
gunung itu emang gampang (kalo kalian ngeliat film 5cm, sih), cuma janjian di
stasiun kereta dan bawa kerdus indomie. Eh itu namanya malah mudik, ya. Hehe.
Tapi ya karena film itu juga sih, setiap orang berlomba untuk bisa mendaki
gunung. Gak peduli punya riwayat penyakitnya. Semua terhipnotis…
.
…
macem kaya gue gini. Zzzz.
Mau dikatakan apalagi sih, emang bener nyatanya. Buktinya sekarang ini, beeeeeuh. Banyak amaat yang naik gunung. Apalagi gunung TNGP, syusaaah bener sekarang kalo nyari slot buat mendaki. Makanya sekarang banyak calo-nya deh tuh TNGP. Tapi tenang kalo gue maaaaaah……… ya pake calo juga sih.
Kenapa?
Karena gue udah punya pengalaman saat melakukan pendaftaran saat normal. Ribet
abis sekarang.
Ah,
ganti topiklah.
Mendaki
gunung itu perlu persiapan, misal peta, gps dan kompas. Sekarang, percaya deh,
berapa persen sih pendaki yang bawa begituan ke gunung. Sedikit bro. Belum tau
persennya, sih. Karena belum melakukan survey secara besar-besaran. Pernah sekali
nanya temen gue, di saat kita lagi mau mendaki ke gunung yang belum sama sekali
kita sentuh.
“Udah
punya trek atau petanya belum?” Kata gue menanyakan persiapan yang sudah
disusun rapih.
“Belom.”
“Lho
kok belom?” Tanya gue dong, agak penasaran.
“Emang
penting apa, jalurnya juga jelas, kok.” Bantahan temen gue.
Dari
sana, gue yakin sih, temen gue yang udah jelas sering banget naik gunung aja,
masih begitu kadang-kadang. Apalagi, para cabe-cabean yang sering naik pake
celana senam/olahraga dan hotpants doang
ke gunung.
Nah,
pernah gak sih lo, udah punya peta dan gps bias nyasar?
Gue
sayangnyaaaa kamu pernah.
***
Jadi
ceritanya begini *ala ala dalang*
Sebelumnya,
udah diterbitin tulisan buat prolognya. Kalian bisa baca di sini. Sampai pos pendaftaran kita siang hari, di pos Camp David. Otomatis
rombongan kami melakukan persiapan pendakian dulu, pindah-pindahin tenda,
makanan dan peralatan masak. Si rombongan yang bareng kami juga sama.
Lalu,
setelah persiapan siap, kita mulai pendakian. Sekitar jam 4 atau 4.30 gitu. Ya
lumayan sore-lah. Sebenernya, jarak dari pos pendakian awal ini cuma 1-2 jam ke
pos campingnya. Tapi emang karena kesotoyan yang tiada duanya, kami ingin
melakukan pendakian sampai pos camping yang di atas (yang sebenernya udah
dilarang, ini baru kami ketahui setelah kejadian tersebut dari bapak-bapak
ranger).
Dan
juga cuma bermodalkan peta serta GPS yang tertera pada aplikasi Oruxmaps gue.
Kami memulai pendakian yang bener, dong.
Kawah
Pertama.
Kami
ketika sampai di kawasan kawah yang pertama ini, masih yakin kalo “We are still
on track”. Jam tangan menunjukkan pukul 5, kami masih foto-foto dengan background
uap yang mengepul, ada yang gaya ngerokok, kentut (itu gue) dan yang biasa aja
(tangan dilipet macem pejabat).
Setelah
itu, kami mencoba maju, dari trek yang awal, kita ngelewatin hutan mati. Bukan,
bukan hutan mati yang biasa buat foto-foto di atas sebelum Tanjakan Mamang itu.
Melainkan hutan mati yang berbeda punggungan dari gunung ini.
Kawasan
Vegetasi
Adzan
Maghrib berkumandang, kami sedang beristirahat setelah beberapa kali salah
jalan. Maju kemudian mundur, terus maju lagi terus mundur lagi, cepat lama-lama
menjadi lambat.
Udeh
gausah mikir yang engga-engga. Ini emang kaya gitu kejadiannya, setelah maju
beberapa meter, lalu salah jalan, kemudian mundur lagi. Awalnya kaki masih
lincah sampe kaki, minta diurut-urut, terutama gue, yang lagi cantengan
sakit kakinya.
Kami
istirahat, cuaca sudah semakin gelap dan angin semakin kencang adanya.
Kedinginan dong. Mau peluk, tapi gak ada pacar. Lagipula gak tau juga sih
pacarnya siapa. Haha. Stop.
Saat
pukul tujuh
Entah
beberapa kali mencoba, tapi tetep aja….nyasar. “Dulu gue lewat sini, kok.
Jalannya jelas”
Teman
gue, si penunjuk arah, sebut saja Tampan. Jadi si Tampan tetep keukeuh buat ngelanjutin dengan kalimat selalu "Tar tar entar dulu", karena dia
pernah nembus ke atas dan berhasil. Namun kali ini, nyatanya salah duga. Kita
nyasar, men.
N-Y-A-S-A-R
Mau
gue mau, gue yang emang anaknya gak mau nyasar, nyaranin buat turun aja, balik
lagi ke start awal, pas kita memisahkan diri dari jalur resminya. Ditambah
kondisi yang udah nyut-nyutan kakinya, mau gak mau gue harus kayak gitu.
Dan,
di saat kita turun. “Kalian cepat turun. Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.”
Ternyata kita udah diliatin sama orang-orang. Mereka itu ranger. Beraaaak
maksimal!
Mau
gak mau kami menunggu dong. Daripada disangka yang engga-engga. Ye kan? Lalu,
di saat mereka sudah menghampiri kami dan bertanya “Kalian nyasar, ya?”
Kami
serentak menjawab “Enggak kok, Pak. Kami habis foto-foto aja.”
Sebelumnya,
kami memang berdiskusi mau jawab apa ketika nanti mereka datang menghampiri. Daripada
kami disalahkan karena memang salah. Tapi secara kami adalah keturunan
Indonesia, yang memang wataknya gak nrimo
kalo disalahin.
Kami
sepakat saat itu untuk jawab “Engga kok Pak, kita gak nyasar. Cuma foto-foto
aja.”
Kenapa
begitu? Karena narsis itu gak akan pernah salah.
Note:
Penulis memahami kegiatan di atas adalah
perbuatan yang melanggar peraturan. Sekaligus terbitnya tulisan ini, penulis
memohon maaf jika ada pihak yang merasa terganggu untuk hal tersebut
coba kalau ada gambar (foto) pasti lebih seru ^_^
ReplyDeleteIyaaaa mbanyaaa.
DeleteNiatnya begitu.
Ternyata fotonya gak ada di file sayaaa hehehe
Bakal diedit lagi buat post ini mbanya.
Thanks for visit!
Cantengan :-(
ReplyDeleteOperasi makanya Ben wkwkwk
Itu salah mala.
DeleteSebenernya di huruf C -nya itu ada kehilangan garis di tengah, dan mestinya jadi Gantengan.
Hahahaha
:( nggak apa nyasar, Kak. saya malah belom pernah naik gunung sekalipun. :( hiks.
ReplyDelete