Melanjutkan kisah sebelumnya, mengenai pendakian guntur beberapa waktu
lalu yang sempat tertunda.
Jadi, setelah pendakian sampai dengan Batu Besar. Gerimis itu menjadi
hujan besar disertai angin. Kencang. Berburu dengan waktu. Kami serentak
mengenakan jas hujan dan beberapa menggunakan payung. Gue, bergidik ngeri kalo
ada yang menggunakan payung di sana, sudah hujan angin, kemudian tiba-tiba Thor
memukul palunya dengan sangat keras.
Anginnya gede banget bro, hampir aja gue terbawa hingga entah dimana. Tetapi
dengan tekad yang membara, kami melanjutkan perjalanan hingga ke puncak 2
Gunung Guntur, yang pada saat itu mengeluarkan hawa panas sehingga membuat
hangat badan dan juga daleman hati gue. Gue berfikir, mana mungkin ada
hawa panas yang datang kalo lagi gak nga….dem. Tapi daripada gue berfikir
sendiri, mending gue nikmatin hawa panas yang baru saja datang kepada rombongan
ini.
Enjoying cold and warm in the same time
Tertunda beberapa lama di Puncak 2, sedangkan ketua rombongan sedang pergi
mencari tempat berkemah. Dan gue serta Rizki malah mau bangun tenda di atas
puncak tersebut. Entah kenapa, gue malah nurut sama rencana pembangunan tenda
itu. Mungkin, gue sudah terhipnotis dengan ide cemerlangnya Rizki atau mungkin
memang sudah gak ada harapan buat gue untuk melanjutkan perjalanan. Sedih.
Sore itu, tempat camp menjadi masalah yang kompleks untuk rombongan
kami. Sekompleks kisah cinta gue. End.
Gausah dibahas lagi. Pahit.
Beberapa teman tidak setuju dengan ide kami berdua, mereka menyatakan
kami ‘gila’ sesaat. Haha. Sebelum
terjadi debat antar anggota, akhirnya ketua rombongan kembali datang. Gue
dengan harap cemas, tangan gemetaran, kaki tremor, hati bergidik. Oke stop, gue
lagi gak nembak cewek.
Ketua rombongan berkata, “Di depan udah ga ada tempat camp, balik lagi
aja ke bawah”.
Jadi rombongan kami akhirnya kembali ke lembah antara Puncak 1 dan 2,
berharap ada tempat camp yang cihuy dan yahud. Kami bergiliran untuk menuruni
puncak, ada yang lari, ada yang jalan, ada juga yang jatuh. Semuanya mencari
hingga berebut untuk mencapai tempat yang dinanti. Tempat membangun tenda. Tempat peristirahatan.
Lokasinya sih, oke. Lumayan lagi. Di bawah Puncak 2, namun di atas Puncak 1. Tapi, tenang bukan Woman on Top. Hujan saat itu telah membuyarkan konsentrasi semua orang.
Semuanya berlomba untuk membangun tenda lebih dulu, mencari sebuah kehangatan.
Kehangatan obrolan malam setiap para pendaki.
Obrolan malam pendaki selalu gue nanti, selalu gue inginkan di setiap
pendakian. Mungkin, obrolan itu yang selalu buat gue kangen mendaki. Obrolan
hangat di dinginnya malam gunung. Tak ada lagi paradoks di diri gue.
Tapi apa daya, ternyata struktur tanahnya itu batu. Susah banget buat
masukkin pasak ke tanah. Banyak pasak yang penyok, akibat proses paksa masuk.
Memang, kata teman, yang dipaksain masuk itu gak nyaman. Tapi, bener ga sih?
*mikir*
“Ben, ayo bantu bangunin tendanya” Jafar berteriak.
“Iiiiya.” Gue selagi bengong karena kedinginan.
Jafar ngomel-ngomel, gue cuma bantuin masukin pasak 3 biji.
Setelah itu, gue menahan dingin lagi di antara hati yang dingin daleman
yang basah. Stress. Ga ada gunanya banget ya gue. Sedih juga ga ada gunanya
gini. Seketika itu juga, gue langsung mikir. Tapi karena kelamaan mikir, eh tendanya
malah udah jadi. Memang sudah keberuntungan gue, eh itu sebuah keberuntungan
atau bukan, ya. Hahaha
Karena tenda sudah jadi, mari kita bobo.
0 comments:
Post a Comment