Sesampainya, kami berdua di Semarang.
Dan gue juga baru inget, kalau temen kampus juga ada yang pulang ke Semarang.
Akhirnya, gue sama temen kampus janjian ketemu. Yang awalnya pengen ke rumah
dia, eh dia malah nyamperin ke stasiun Semarang Poncol. Baiknya dia, namanya
Mba Dini. Kenapa gue manggilnya ‘Mba’? Karena dia sudah bersuami dan mempunyai
dua orang anak. Ya, karena gue sopan dan
santun, dan hormat kepada yang lebih tua serta juga ganteng, makanya memanggil
dengan sebutan tersebut.
Sebelum keberangkatan, Ryo ngasih tau
gue. Kalau tiket pulang yang hari Senin dan Selasa dari Jogja telah ludes. Ah,
tuhkan. Rencana perjalanan singkat ini memang seharusnya menjadi panjang.
Perjalanan ini memang mirip Mak Erot.
Jadi, kami berdua membeli tiket pulang
dari Semarang kembali. Tetapi dapatnya itu untuk hari Selasa saja. Perburuan
tiket pulang tak seheboh yang pertama. (baca : Banyak Jalan Menuju Manchester)
Di sini, lebih dikit pemesannya. Jadi
mengantri pun tak sepanjang di Jakarta. Kenapa gue selalu memakai kata
‘panjang’, yah?
Oke, ketemu Mba Dini sudah, Dan
akhirnya, gue melihat anaknya. Kalau di foto soalnya mereka lucu-lucu, dugaan
gue memang benar. Anaknya lucu, apalagi yang bernama Rafa. Gak bisa diem.
Jalan-jalan terus. Mba Dini mempunyai dua anak, yang paling besar bernama Eugene, dan Rafa yang
bontot. Mereka berdua tinggal di Semarang, sedangkan Mba Dini di Jakarta.
Ternyata jadi Eugene dan Rafa berat, harus ditinggal ibunya pergi ke Jakarta
terus. Pantas saja, Mba Dini sering banget pulang kampung.
Lalu pengalaman baru dimulai, gue mandi
di stasiun. Dengan ekstra cepat karena takut diintip Om-om penjaga toilet. Gue
mandi sekedarnya saja. Yang penting, rambut dan badan basah. Terutama handuk
harus basah juga. Air di Semarang hanget banget, kurang seger buat mandi.
Gue selalu melihat iklan orang mandi di
tv tuh pada seneng-seneng banget soalnya. Banyak dilama-lamain. Sementara
gue? Paling lama itu juga setengah jam.
Dan waktunya sudah termasuk sama waktu ketiduran gue di toilet. Kalau ngomongin
gue mandi, nanti kalian malah pada demen. Ganti topik, ah.
Setelah kami berdua selesai mandi,
akhirnya kami diajak makan sama Mba Dini. Kata temen, di Semarang itu paling
enak Soto Ayam deket stasiun, dan harganya terjangkau lagi. Pilihan kita
akhirnya ke tukang Soto Ayam di sekitar stasiun Poncol. Namanya Soto Ayam
Angkringan. Bener banget, Angkringan ini
namanya. Karena banyak bapak-bapak yang nangkring di warung ini, pada taruhan
bola. Gokil.
Gue nyobain sate kerang di sini. Gue
kira sate kerang itu gak pakai tusukan, eh ternyata pakai juga. Bodohnya gue
sudah mengira bisa seperti itu. Tapi kok, rasanya benar-benar sama kayak kerang
dicabein yang Ibu gue suka masak, yah. Persis banget.
Ditraktir.
Cuma satu kata tersebut yang paling
indah didengar saat backpackeran. Gak ada yang lain. Ah, surga. Budget lo akan
semakin irit jika ditraktir. Tapi jangan terus-terusan minta traktir, takutnya
untuk ke depannya lagi, malah orang-yang-mentraktir-lo itu gak mau nampung lo.
Jadi sadar diri aja kalau lagi ditraktir mah.
Bertanya-tanya soal angkutan ke daerah
Solo kepada suaminya Mba Dini cukup menyegarkan pikiran gue. Jadi, alternatif
pilihan ke Solo dari Semarang itu ada 3,
pertama terminal Terboyo, daerah Ambarawa dan Banyumanik. Semuanya sama.
Yang membedakan, di terminal Terboyo bisa memilih angkutannya, dan langsung
dapat tempat duduk.
Jika di Banyumanik, tempatnya cuma
seperti halte gitu. Banyak sih jurusan ke Solo, karena Banyumanik salah satu
jalur yang dilewatin. Untuk Ambarawa, gue belum begitu tau. Seinget gue,
sejenis terminal deh. Jadi sebelum masuk ke Semarang, pasti melewati Ambarawa
dulu kalo lewat jalur Selatan. Gitu, sih.
Kami berdua mencari bus ekonomi awalnya.
Namun harga bus ekonomi AC dengan seat 2-3 yang tidak beda jauh dengan harga
ekonomi, menggoyahkan niat kami. Kami berdua naik bus PO. Raya, dengan harga
Cuma Rp. 15.000, cukup murah kan dibanding dengan harga bus ekonomi yang
sekitar harganya Rp. 10.000-Rp. 13.000.
Kira-kira perjalanan ini sekitar 2-3
jam, deh. Gue soalnya ketiduran di bus. Maklum ngantuk, di kereta ekonomi gue
gak bisa tidur. Cuma mondar-mandir ke WC aja. Gue duduk di depan cewe-cewe
berlogat Jawa Semarang, dan cukup bawel. Ngobrol terus sepanjang jalan. Pusing
gue dengernya. Ehm gue tidur juga sih akhirnya, walaupun ujung-ujungnya malah
pegel.
Mari berlanjut.
Gue gak mual sama sekali naik bus ini,
aneh banget. Gue biasanya mual untuk naik bus jenis begini, nih. Minum antimo
aja enggak. Cuma minumnya kerasnya dunia percintaan aja sih baru-baru ini.
Sampai di Solo, yang kita tidak tahu
dimana terminalnya itu, kira-kira jam 1-an. Gue enggak tahu harus turun dimana.
Serius. Gue orang Solo bajakan kayaknya, deh. Terakhir pulang ke Kartasura aja,
sih. Itu juga SMP. Ah, ampuni aku Bapak.
Kita akhirnya ngikut aja sama bus ini, sampai
pemberhentian terakhir, dan benar saja. Gue dan Ryo turun di terminal
Tirtonadi. Sebenarnya tujuan gue ke Solo cuma satu, nengok keluarga gue di
keraton Surakarta.
Kalian pasti gak percaya kalau gue itu
keturunan keraton, kan? Sama kayak gue. Ini gue ngarang aja bilang begitu.
Dulu, bu’le gue sering cerita kalau lagi
pulang naik bus ke Solo. Katanya orang-orang sana suka sekali bikin pendatang
itu nyasar. Makanya itu bikin gue takut. Cemen banget gue. Tapi tenang. Itu
dulu. Sekarang mah udah berani, katanya itu juga.
Namun, kenyataannya berbeda. Selain
terminal dipenuhi tukang taksi dan becak saja, di sana banyak warung juga. Tapi
sayang, gue belum laper. Di sana baik-baik orangnya. Tapi tetep, kita harus
waspada di perjalanan. Jangan terlalu mudah percaya sama orang.
0 comments:
Post a Comment