Menyambung kisah sebelumnya, setelah
tiba di Solo, kami berdua langsung bertanya kepada petugas Dinas Perhubungan
yang kebetulan sedang bertugas, untuk mencapai ke arah Keraton Surakarta itu
dengan angkutan berapa, kecuali menanyakan taksi tentunya, karena taksi itu
kendaraan serba bisa. Bisa ngebut, bisa bantuin polisi nangkep penjahat, punya
NOS, dan plat mobilnya bisa ganti sendiri. Oh itu cuma imajinasi gue karena
keseringan nonton pilem taxi. Keren ya gue.
“Hmm” dan “Oh gitu” salah dua ucapan favorit
gue mendengar penjelasan bapak-bapak petugas tersebut. Ya, jadi jika kalian
turun di Tirtonadi, kalian gak akan bisa menggapai Keraton menggunakan angkutan
umum. Paling tidak dapat dijangkau dengan becak dan jalan kaki (jika kuat).
Setelah dijelaskan, kami berdua langsung
jalan ke pintu keluar, dan tiba-tiba ada bapak penarik becak yang langsung
menghampiri kami.
“Mau kemana, Mas?” Tanya bapak itu ke
gue.
“Ke Keraton, Pak.” Jawab gue.
“Oh yaudah, sama saya aja, yuk.”
Beberapa kali gue selalu mendengar kata-kata ini, biasanya langsung gue tolak,
tapi entah kenapa kali ini gue terima aja.
Lalu sempat ada tawar-menawar dengan
bapaknya. Gue, sebagai penawar paling ulung, gagal di saat tawaran gue mentah-mentah
ditolak bapaknya. Jadi, perjalanan ke Keraton,
kami berdua menggunakan becak seharga Rp. 20.000 sekali jalan. Oke, cukup murah, jadi
perorang hanya dikenakan Rp. 10.000.
Di perjalanan, gue sempet foto-foto,
biar kayak anak travel yang eksis aja gitu foto-foto di becak. Kasihan juga
bapaknya, sebagai informasi, penarik becak di Solo kebanyakan orang tua berusia
lanjut, gue dan Ryo yang membawa tas berat pun sungguh gak tega ngeliatnya. Ya,
walaupun sangar, kita harus punya sisi sentimentilnya, kan? Hehe.
Sempet beberapa kali, kayuhan si bapak
terhenti di tengah jalan, tapi anehnya, enggak ada suara ngos-ngosan yang
terdengar oleh gue. Bayangkan jika gue, bawa dua orang begitu juga pasti
kebanyakan istirahatnya. Jadi, harga yang ditawarkan bapaknya juga
terbayarkanlah oleh usaha si bapak. *pukul diri sendiri yang awalnya menawar
harga*
Di Jawa, banyak juga pasar atau
toko-toko barang bekas yang antik, sepanjang perjalanan gue ngeliat pasar seperti
itu.
Ah gak kerasa, kami berdua sudah sampai
di alun-alun. Pikiran gue Cuma satu, yaitu MAKAAAN!!. Laper banget gue, mungkin
karena kebanyakan tidur, ya. Tapi, gak jadi makan, karena langsung solat di masjid
Ageng Surakarta *ngemut Promag*
Masjidnya sedang direnovasi, mau
foto-foto sampai gak enak, deh. Tapi, lega lho, sama aja kayak masjid di
Jakarta, banyak orang solat juga. (yaiyalah namanya juga masjid)
Okeh, perjalanan berlanjut ke Keraton
Surakarta. Terakhir kali itu gue ke siniiiiiii…….itu kapan, yah? Lupa.
*ditonjok pemirsa*
Tiket masuk ke Keraton itu cuma Rp.
10.000. Murah kan dibanding tiket XXI? Apalagi, masuk ke dalamnya bisa belajar
sejarah kasunannya. Anjrit, gue udah
cukup bijak belum, sih? Kalau ingin
membawa kamera kena charge, asalkan kalian pengen masuk ke museum keretanya.
Asalkan lho, ya.
Pertama sih masuk cuma ke Aulanya dulu,
belum ke Keraton. Bagus, kok. Tapi kurang bersih, sih.
entah siapa yang kurang bersih hmm
Setelah mengitari, kami akhirnya masuk
ke area Keratonnya. Untung saja sebelum kami ada rombongan, jadi kami
dibarengin sama mereka menjadi rombongan terakhir pada hari itu. Istimewa
banget kan?
Sekarang, masuk Keraton itu sudah harus
didampingi oleh Abdi Dalem atau Tour Guide-nya lah kalau dalam istilah keren.
Bapaknya baik banget. Kami berdua yang cuma pake sandal gunung, dan gue
bercelana pendek boleh masuk ke area Keraton, yang seharusnya masuk ke sana
harus rapih dan menggunakan sepatu atau nyekerman. Sudah gue bilang, kami
istimewa, kan? *ketawa santun*
Bangunan pertama yang dikasih liat itu
namanya apa yah, apa sih? Yoh, lo tau, gak? Lupa lagi. *ngomong ke Ryo*
Biasanya
digunakan untuk melihat keadaan kota
Dan kebetulan banget, lagi ada acara
jamuan dari Pakubuwono kepada tamunya yang berasal dari Malaysia. Bapaknya
tiba-tiba ngomong, “Mas, mau masuk ke dalam juga, gak?”
“Masa boleh?” Jawab gue
“Iya boleh, asalkan Mas nikah sama
keluarga keratonnya.” Kampret, gue dibercandain.
Seketika itu juga, Ryo ngeliat cucu dari
Pakubuwono, katanya sih cantik. Katanya. Tapi, si Ryo ini paling pinter
mengenali cantik tidaknya seorang wanita. Namun sayang, dia jomblo. *pukpuk
Ryo*
Calon
suaminya cucu tersebut
Setelah bapaknya cerita, ternyata cucunya
itu kerja di Bank Bukopin. Nah, kan gue ke sananya pas hari kerja, yah. Terus
masih jam kerja juga, kok cucunya udah pulang aja, ya? Mikir gak? Itu pasti
karena pengen menyambut gue aja, sih.
Cintanya yang tertunda. *masih berenang di alam mimpi*
Sebelum masuk area museum, kami minum
air dari tempat pertapaan Pakubuwono yang terdahulu. Airnya sih seger, gelasnya
yang enggak. Terus gue cuci muka pakai air itu, berharap aura gue semakin
keluar. Yang tadiya mendem, kayak
wortel.
Entah kerasukan apa atau gue-nya sering
senyum dibanding Ryo. Sama bapaknya gue dijadiin model foto dari seluruh objek
tempat museum terus. Mungkin,karena gue ganteng.
Museumnya beragam, dari kereta kuda yang
dipakai buat perang, alat peperangan, lukisan Pakubuwono terdahulu, dan
alat-alat yang digunakan saat pernikahan anggota keluarga Keraton. Keren, tapi yak
arena museum, jadi sepi. Paling rame pas di musim liburan anak sekolah aja. Oh
iya, ada dandang yang gede juga, bisanya 6 bulan sekali dipakai buat masak di Keraton.
Keren.
Tapi sayang, ada kereta putih, bagus.
Namun gak boleh difoto. Kalian tahu kenapa? Itu karena kereta jenazah. Kalian
mau menaikinya? Gue sih enggak, makanya gak difoto, deh.
Dan perjalanan di Keraton Surakarta
berakhir. Ini bapaknya lagi foto sama gue. Tapi, lupa nanya namanya. Kebiasaan.
Yang paling seru tuh, pas pulang dari
Keraton. Sempet duduk doang di alun-alun (karena gak tau arah jalan pulangnya)
sampai ketemu orang dari Kalimantan, yang pengen ngedaki Lawu. Ah, gue kepengen
kan jadinya. Sempet diajak sih.
Tadinya mereka pengen ke Keraton juga,
tapi karena sudah tutup. Mereka langsung lanjut lagi entah kemana, gue juga
bingung.
Balik lagi, dengan ke-soktahu-an gue,
kami berdua jalan kaki pas pulangnya. Niatnya pengen nyari bus yang langsung ke
arah Jogja. Tapi malah agak nyasar di Solo. Kotanya keren. Keuntungan nyasar ya
itu, ketemu hal yang gak terduga. Bener, kan?
Dan akhirnya ada tukang nasi kucing.
Makan deh, gak sampe sepuluh ribu. Lanjut jalan lagi. Kira-kira 3km. Pendek,
kan? *ngeliatin Ryo yang ngos-ngosan*
Kita itu menuju Tirtonadi. Ingin ke
Jogja, sebagai tujuan terakhir perjalanan ini. Sampai di sana sih. Sebelum
Maghrib, jadi sempet beli air dulu, dan enaknya ketemu orang yang juga sehobby
sama gue. Hiking.
Awalnya dia nanya sama gue, apa Cuma seneng
backpackeran aja. Gue jawab enggak, lebih tertarik hiking sebenarnya. Tapi
karena lagi gak ada partner saat itu,
gue Cuma backpack, deh.
Dia cerita dulu sebelum reformasi, dia
sering hiking. Semeru dan Rinjani lewat, dan anehnya ke Rinjani gak sampai
200rb. Kampret. Kalau sekarang itu
berapa yah. *ngitungin recehan*
Ngobrol-ngobrol asik deh. Seru juga
ngobrol sama orang baru yang ketemu di jalan. Sampai akhirnya, bus memisahkan
kita, walaupun di satu bus yang sama. Hiks.
And
here we go, Ngayogyakarta.
Pelajaran gue ya, kalau di jalan jangan
sok-sok malu bertanya. Nanti malah nyasar. Backpack itu kan sebenarnya nyari
teman baru juga, bukan hanya menikmati liburan aja.
Salam,
@benbayoga
0 comments:
Post a Comment