Saturday, October 11, 2014

Terkadang Memang Begitu



“Bro bro,  nanjak yuk ah” Kata temen mengajak
“Nanjak kemana?” Gue mengiyakan
“Gatau, pengen nanjak aja, sih”

Dasar anak kurang diajar, dia yang ngajak, maka dia pula yang tidak ngasih pilihannya. Karena gue anaknya sangat menghargai temen, maka gue ngasih pilihan antara mau dihargai goceng atau ceban. Dan temen gue malah nawar tiga rebu. Ah sudahlah. Mari kita lupakan.

“Hmm, gunung Jawa Tengah aja, tapi.” Gue ngasih opsi yang spesifik
“Dan yang enak juga, gitu” Gue menambahkan

Memang, sebagai pendaki amatir yang gak tau-menau tentang gunung (selain gunung kembar), naik gunung di Jawa Tengah bakal jadi tantangan yang besar. Oke, pilihan saat itu jatuh ke lawu dan double sumbing sindoro.

Setelah mengalami perbincangan yang hebat antara hati dan pikiran, maka naik gunung double sumbing sindoro lebih menjanjikan, katanya. Mulailah gue dan temen-temen mencari akses atau jaluryang memungkinkan ke sana. Oh iya, perjalanan ini juga dijadwalkan setelah lebaran.

Dari sana kita mulai pusing, karena jalannya setelah lebaran plus dua. Mau naik kereta atau bis, ya akhirnya mungkin kalian taulah, gue dan temen-temen jadinya milih apa. Pastinya naik kereta, dong. Secara gue kan Mas Ramdhan yang ada di stasiun Juanda itu, lho. Ganteng kan gue? Udah iyain aja, daripada gue jadi sedih kalo gak diiyain.

Masalah penentuan jadwal ini mengingatkan gue dengan kisah beberapa tahun sebelumnya.

***
Waktu itu, sekali lagi, gue dan temen-temen  berencana liburan ke suatu kota. Kita udah selalu meeting atau melakukan perbincangan. Biar seperti orang penting dan sibuk.

“Yuk, main yuk atau jalan-jalan, gitu”
“Berangkaaat” Gue menanggapi
“Tentuin jadwalnya dulu, berangkat dan pulangnya kapan, biar bisa nyusun jadwal.” Kata temen gue
“Pastinya”

Kita sudah nentuin jadwal, langsung kita booking tiketnya. Rencana kemana mau makan apa, pergi jalan-jalannya udah oke banget, hanya tinggal berangkatnya aja yang belum.

Namun apadaya kemampuan manusia itu, rencana hanya rencana, Tuhan yang menentukan. Dari beberapa orang yang mau berangkat, kemudian mengerucut menjadi 3, lalu 2 dan akhirnya sama sekali ga ada yang berangkat.

***
Memang,  perjalanan sama kayak perasaan. Buat komitmennya sih gampang, ngejalaninnya yang susah.

Sunday, March 30, 2014

Gunung Guntur Episode 1

Akhirnyaaaaaaa, *melepaskan dahaga*
Di awal tahun 2014 ini, gue bisa mendaki gunung yang sebelumnya belum pernah didaki atau dijalani, umm akhirnyaaa. Setelah agak lama cuti mendaki, ye gak? *alias ga ada ajakan*

Kisah ini dimulai dengan cerita... Wait, drumroll, please? *drumroll*
Sebut saja dia Mawar. Heh, bukan bukan.Tapi badewai, Mawar kasihan juga ya disebut mulu kalo ada kasus pembunuhan. Iya kan? Kasihan, kan? Sedih, kan? *sesunggukan*

Oke,

"Ben, naik yuk!" wasap dari seorang teman bernama Rizki.
"Naik mana?" Gue menjawab antusias.
"Cikuray aja, yuk."

Beberapa menit kemudian, eh sejam kali ya. "Guntur aja yuk, mumpung ada yang mandu."
Gue semakin antusias dong, Guntur gitu lho. Bewok, muka arab, gede. Ya kan? Eh sorry, itu mah temen kantor gue.

Sedikit informasi, Gn Guntur ini terletak di kawasan Garut, berdekatan dengan Gn Papandayan dan Cikuray. Juga memiliki ketinggian sekitar 2.249 mdpl. Gn Guntur juga merupakan gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Itulah beberapa hal yang dicatut dari Wikipedia.

2.249 mdpl? Pendek banget dong,Ben? Jangan pernah nanya begituan, ya. Naik gunung tuh jangan mikir cuma mdpl-nya aja. Mari kita lanjutkan, saudara-saudari.

"Oke deh, Rim. Siap aja." Wasap terakhir gue beberapa minggu sebelum pemberangkatan.

 H-1 pemberangkatan, Rizki wasap gue lagi. “Ben hujan banget, abis liat forecast, di sana hujan terus.”
“Iya hujannya gede banget kayaknya.” Seketika kami berdua galau. Namun emang dasarnya Gusti Alloh sudah mengijinkan, cuaca esok harinya pun lumayan kondusif, gitu. Tau kondusif, ga? Kalo gue sih tau-tauan aja gitu, biar keliatan intelek kaya caleg. Hehe.

Hari H.

Alhamdulillah berangkat juga, setelah tertahan agak lama di kantor, sehingga persiapan menjadi tidak karuan. Banyak hal yang gak masuk atau tertinggal, seperti kopi dan malu. Yang kedua sih, apa emang gue gak punya, ya?

Tim ini berisi Jenot, Mba Pira, Om Mendoan, Om Darwin, Mas Jafar, Ka Iki, Gue, dan Timnya Obet(Obet bukan ya, lupa gue). Ya beberapa sudah kenal, cukuplah memulai pendakian jika udah mengetahui karakter masing-masing.

Here we go.

“Ben, lontong lagi ya isinya” Jenot menunjuk tas gue.
“Iya dong, ngapain berat-berat.” Sambil sesunggukan. Hiks.
Kampret emang Jenot.

Entah karena udah malem atau gue udah ngantuk. Kendaraan yang gue naiki aja gak tau namanya apa, yang pasti sih bentuknya bis, yang juga merogeh kocek Rp. 40.000. Termasuk murahlah, mengingat BBM yang naik menjulang tinggi.

Perjalanan di bis ini seru banget. Iya seru banget, deh. Gue aja ga bisa tidur tidur mulu. Dari yang kepalanya di kiri sampai turn over ke kanan. Ganteng banget, kan?
 
Entah memakan waktu berapa lama, gak terasa kami udah di Garut aja, ya iyalah gimana mau kerasa kalo tidur terus.  Kami turun di SPBU Pertamina, dengan kepala masih pusing akibat ketiduran di bis. Seperti pendaki  umumnya, kami meneduh sebentar ke masjid. Selain untuk re-packing, kami juga melanjutkan istirahat yang terganggu tadi.

Semuanya tidur, gue gak bisa. Ini pasti gara-gara mikirin dia ini. Lewat.

Pagi harinya, setelah semua bersiap dan sarapan. Kami disambut dengan wajah Gn Guntur yang tertutup kabut. Agak sedih sih, pikirannya pasti kehujanan di jalan  seperti pendakian yang gue lalui sebelumnya. Kehujanan terus.

Kemudian kami mencari truk pengangkut pasir dan nego dengan mamamg supir. Oh iya, efwaiay (red FYI) untuk menuju lokasi pendakian atau tambang pasir, lebih baik menggunakan truk pengangkut pasir, mengingat lokasinya yang sangat jauh dari jalan raya.

Mulailah pendakian dengan doa dan teriakan. Boleh teriakan keras, atau manja, mungkin juga teriakan hati yang teramat dalam. Pokoknya biar memicu semangat, berteriaklah sebelum mendaki,jika teriakan lo agak lebay, biarin aja.

mana teriakannya?

Sempet juga kami salah jalur, dan diteriaki penambang pasir dengan ucapan kasarnya. Karena dalam bahasa Sunda yang tak gue mengerti, gue lanjut aja, namun tau maksudnya. Sedih juga, ya.

Dan inilah kejutan dari 2.249 mdpl.  Jangan nyangka dengan ketinggian segitu, kalian bakal dapat bonus yang banyak. Boro-boro bonus, air pun juga tak ada. Treknya mendaki terus tanpa henti. Agak kasihan juga sama dengkul gue yang udah tidak kuat seperti dulu ini. Bukan, bukan, bukan karena sering berurusan dengan sabun, ya.

Bayangkan? Berapa derajat itu?


 
Tingkat kelelahan yang berbeda menimbulkan perpecahan kelompok, yang swipper di belakang, yang masih muda di tengah, yang dengkulnya renta di paling depan sepeti gue ini.

“Ben, Jafar gak kuat tuh kayaknya. Lo bawain kameranya, tuh.” Rizki langsung mengambil kamera yang dibawa Jafar dan meletakkannya di punggung gue. Alhasil, bawaan gue menambah sekitar 3 kilo, yaampun mimpi apa gue di bisa, ya.

Biar kayak pendaki hebat, gue terima kamera tersebut dengan lapang dada. Dan beberapa meter kemudian, bentar-bentar,  istirahat dulu. Iya, gue hampir mogok karena ngebawa tenda dan kamera DSLR. Kampret. Asem.


Kekuatan marah gue meningkat, dan menjadi uring-uringan. Baru kali ini, gue mendaki uring-uringan begitu. Biasanya sih, selalu ceria gitu.

Pendakian cukup lancar, sesuai dengan itinerary yang sudah disepakati bareng-bareng. Sampai di batu besar sekitar jam 10.45, kemudian istirahat-istirahat lucu, gitu. Makan roti pake susu. Susu perawan sapi. Emang perawan punya air susu, ya?

 
Korban 2249 mdpl

Gue? Apa yang gue lakuin? Orang ganteng itu ngapain aja sih? Begitu juga gue berarti. Gue kan ganteng, jadinya yang gue lakuin adalah TIDUR. Lumayanlah 15-30 menit, mah.

Gede banget ye gue?

Mendung datang, air rintik pun menghampiri. Siang itu, air berlomba-lomba menghampiri kami. Tidak lupa, gemuruh angin yang membabi buta juga mengunjungi kami.

(Continue)

Sampai sini dulu, ah. Lanjutin nanti, ya.

Ini Garut dari Guntur.
 

Friday, January 24, 2014

Goa Pindul : Dompet Sialan



Jogja, Yogya, atau Djogja? Sama, gue juga masih bingung. Apasih arti sebuah nama? Ya nama memang penting, jadi ga boleh menyepelekan sebuah nama ya teman-teman. Seperti nama gue, banyak yang bilang aneh, tapi orangnya ganteng, kok.

Kota ini lebih dikenal dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta, menurut buku pintar edisi 1996. Apa masih istimewa? Jelas masih, tapi tergantung sih, kalo kalian ada yang pernah putus di sini sih, udah gak istimewa lagi pasti.

Kok jadi ngawur?

Jadi, kota ini merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Karena pengucapan yang terlalu panjang, maka kota ini sering disingkat dengan kata Jogja, Yogya atau DIY. Itu menurut sumber yang gue baca, barusan.

Jogja punya banyak tempat wisata, namun gue dan Ryo memilih berlibur ke Goa Pindul, dengan budget pas-pasan. Iya pas punya uang, karena sehari Cuma makan sekali, itu juga udah ditampung pake Promag. Obat ini manjur banget, gue jadi gak kelaperan selama liburan. Mantap.

“Ben, mau wisata apa aja, nih?” Tanya Ryo sesaat melihat brosur Goa Pindul.
Gue langsung ngecek dompet dan bilang “Yang paling murah aja.”
“Serius lo? Cuma caving basah doang?”
“Iya gapapalah, budget tipis ini.” Sembari  tangan gue membuka lipatan-lipatan dompet.

Sebelumnya, kami mengarah ke Goa Pindul dibimbing oleh sebuah alat yang bernama Galaxy Tab berukuran 7 inchi, yang sebelumnya jug ague gak pernah megang alat ini. Jadilah gue mati gaya, sampai nanya terus ke Ryo.

Beberapa kali berhenti, untuk sekedar nanya ke warga pinggir jalan.
“Goa Pindul ke arah mana ya, Bu?” Tanya gue
“Lurus aja dek, ikuti jalan, nanti juga ketemu.” Kata ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Kampret, kita berdua dibohongi kali ya ini, daritadi yang terlihat Cuma pohon doang nih, Yo?”Gue yang kebingungan.


 tuh hutan, kan?

“Eh noh Yo, ada petunjuk jalannya, ada tukang ojek lagi” Gue emang agak cerewet.
“Pak, ke Pindul ke arah mana, ya?”
“Yaudah ikut kita aja.” Nah lho, ada bapak-bapak dan seorang anak muda bilang begitu. 
Entah kena pelet apa, kita berdua malah ngikutin mereka. Duh gue parno. Jangan-jangan mereka penjahat yang bersembunyi di balik wajahnya yang polos atau mungkin juga mereka itu teroris yang sedang nyamar, lalu mereka mencari sepasang pengantin (perlu diketahui pengantin di dunia teroris itu adalah sang umpan).

Kami berdua mengikuti mereka dari awal, dan sampai di tengah perkebunan yang memanjakan mata kami. Surga.



Lalu, kami diajak berkelok-kelok melewati beberapa desa, dan gue langsung nanya, “Yo, lo hapal jalan baliknya kan, ya?”
“Kagak, udah ikutin aja dulu.”

Dalam hati, “Kampreeeeet, anakmu masih perjaka, maaak..”

Goa Pindul memang jauh banget dari perkotaan, tidak disarankan menggunakan angkutan lokal. Karena angkutan lokal hanya beroperasi beberapa jam, tidak seharian penuh. Jika pengen ke tempat ini, harus bawa kendaraan pribadi.

Kemudian, setelah kami membayar tiket masuk caving basah.  Kami diberikan rompi pelampung, dan diharuskan menitipkan tas ke penjaga. Dan kita sudah siap, sudah pake pelampung dan membawa ban masing-masing.

Dan kampret, di perjalanan gue baru sadar. “Yo, gue masih bawa dompet lagi nih di kantong.”
“Ah dudul, mau basah-basahan malah bawa dompet.” Ryo agak kesel.
“Cari plastik sono.” Kata Ryo memberi saran.

Perlu diketahui, bahwa tiket kereta yang akan membawa kami untuk pulang sedang ada di dompet gue. Matilah gue. Mau balik lagi nanggung kayak udah putus tapi masih minta balikan judulnya ini mah. Niat kembali ke pos penjaga, gue urungkan.

Kenapa gue urungkan? Pertama, gue udah jalan lumayan jauh, nyet. Kedua, memang jaraknya udah jauh, jadi gue males balik lagi. Ketiga, “Udah gapapa, paling juga ga basah” Saran dari guide.

Mana ga basah, nyeeet. Airnya dalem, meskipun pake pelampung, pasti akan basah juga iniiiih. Alhasil, gue sibuk mencari beberapa plastik bekas, agar bisa digunakan untuk pelindung dompet.



mending iket cinta daripada plastik

Masalah dompet mari dilupakan, lekas lanjut ke caving. Sebelum nyemplung, kita di-briefing dulu. Sepanjang bapaknya ngomong, gue baru sadar. Ini kok isinya keluarga semua yang dateng, mungkin gue doang berdua yang bukan berkeluarga. Asem attack.

Si bapak guide mulai nyemplung, kemudian disusul rombongan keluarga yang bareng sama gue. Lalu gue, terakhir Ryo.

Siang itu, di matahari yang menyingsing. Ryo mengenggam tangan gue dengan erat, erat sekali. Romantis banget. Seakan-akan gak mau lepas dari gue.

TAPI ITU EMANG INSTRUKSI DARI GUIDENYA, MONYEEEET. KALIAN GAK USAH LEBAY.

Oke sorry, capslock kepencet, gue masih gak terima kalo Ryo memegang jemari gue karena sebuah paksaan seorang bapak guide. Sedih. Banget. Gak terima. Oke, bercanda doang.

“Ben, lo gak ceritain cavingnya?” Kata pembaca yang budiman. Dan itu, elo, ya elo yang lagi baca.

Gue gak bisa berkata apa-apa. Goa Pindul itu wisata Jogja yang paliiiiiiiiiiiiing……….ga gue nikmatin. Bayangin aja, baru masuk goa-nya, eh udah ada yang teriak, masuk lebih dalam lagi, teriaknya malah lebih kenceng, ampe bilang sakit-sakit gitu.

Eh maaf, itu pilem bokep yang barusan gue tonton. Hehe.

Tapi, memang kenyataannya emang gitu, masuk ke dalam cuma ada kelelawar dan teriakan gadis-gadis desa.” AAAAAAAAAAAAA.” Kayak gitu deh teriaknya, bayangin sendiri ya.

“Ben lo mau lompat kagak?” Kata Ryo yang asik nge-candid gue.
“Kagak ah, gue bawa dompet. Nanti basah lagi.”
“Udah dompetnya gue pegang sini. Lo kalo mau lompat-lompat aja.” Bilang Ryo perhatian. Sok sweet ya.
“Engga ah, balik aja udah. Pak, balik aja, Pak.” Gue ngomong ke Ryo dan si bapak guide.
Nanggung.

Gue ke Goa Pindul dengan perasaan nanggung yang ga basah. Cuma celana dalem gue doang yang basah. Gak terima.

Ryo, si tukang sewa ban, juga hati

DASAR DOMPET SIALAN!!!!

Sunday, June 9, 2013

Mandalawangi


Tiada habis gue berpikir, tempat ini indah banget. Perjuangan naik gak sia-sia, meskipun di malam hari, keindahannya tak dirusak sang bulan. Malah tempat ini dan bulan memadu kasih, seakan-akan keduanya menyatu, beriringan dan bermesraan di tengah-tengah gue. Aku iri. Mereka tak memedulikan gue. Dan gue hanya bisa mangap melihat keindahan malam di tempat ini.

Tempat dimana seharusnya kita merenung, membayangkan malam di tengah kebisingan siang yang mengganggu tadinya. Atau harus mendiskusikan tentang hidup? Iya mendiskusikan berduaan dengan alam yang lirih.

Nama tempatnya, Mandalawangi.

Tidur gue gak nyenyak, karena sepanjang hari ditempa dengan hujan, badan gue linu seperti orang tua. Dan entah kenapa, gue memutuskan bangun malam atau malah dini hari itu. Iya, kira-kira jam 1 atau 2, gue bangun. Sleeping Bag gue agak lembab, dan itu membuat sukses si Nicholas ini bangun. Bangun dengan kepala yang berat, hidung mampet. Tadinya, gue hanya ingin tidur nyenyak sampai pagi, sampai matahari terbit dari Timur bersamaan dengan bulan yang mendarat cantik di ufuk Barat.

Iya, rencana gue hanya tipuan belaka. Di malam itu, gue bangun, keluar tenda, tempat dimana gue bisa merasakan kehangatan di ketinggian yang membuat dingin. Temen gue sebelum tidur bilang, “Hari ini full moon, lho. Tapi hujan, mungkin jadi gak  keliatan, padahal gue nungguin itu.”.

Memang, tadinya sepanjang malam, di Mandalawangi turun hujan yang agak deras. Dan sukses buat gue dan temen-temen untuk meringkuk aja di bawah tenda, sampai akhirnya kami tidur sebentar. Mungkin juga, gue hanya yang tidur sebentar.

Ternyata, pas gue keluar. Gak, gue gak bisa berkata-kata. Pemandangan malam di tempat ini cantik. Gue melihat ke atas, dan yah gue beruntung. Bulan purnama  bersinar benderang, menyinari gue dan temen-temen di Mandalawangi. Meskipun dingin, angin menusuk gue secara perlahan,  meremas lembut bulu-bulu di sekitar badan, gak menyurutkan gue untuk keluar lebih jauh.

 
Rizki, dia udah keluar duluan ternyata, motret sana-sini. Namun modelnya belum ada,  gue siap karena gue Nicholas. #dijorokin

Ternyata, yang lainnya sudah bangun di dalam tenda, memasak di waktu dini hari. Membuat persediaan air menipis saja. Sebagai menteri perairan di gunung, gue sebenarnya pengen banget ngambil, tapi gue harus memberi kesempatan  kepada orang lain untuk melanjutkan perjuangan gue bukan?Menurut kalian, gue jadi bijaksana gak sih? Pasti deh, gue sadar banget emang.

Gak gue sangka, para pendaki yang lain malah teriak-teriak buat nanya skor akhir final liga Champions antara Muenchen dan Dortmund. Mereka bersaut-sautan, melempar guyonan membuat kebisingan di malam yang indah ini.

Gue dan yang lain malah asik foto–foto aja. Gak akan mau ngelepas suasana yang indah ini, gue percaya setiap kegiatan pasti membutuhkan record atau rekaman. Di mana, suatu saat, momen-momen ini yang bakal gue ceritain atau gue kenang.

Ah, mungkin karena kesialan gue, malam ini mengambil air lagi di aliran air. Saat jalan ke menelusuri aliran, gue terpana, di depan gue terpampang pemandangan Gn. Salak di hiasi awan. Indah. Gue gemeteran. Iya, itu karena gue memang masih kedinginan.

Berikut foto-fotonya, karena kemampuan mengambil foto yang gue menurun ke level pemula, semua gambar diambil teman-teman gue, entah Tebe atau Rizki.


 bukan sponsor




Seperti biasa aja sih, ini dapet pesan dari Nicholas. "Jaga alam dengan baik yah, bumi sudah semakin tua."

Nicholasnya mau balik ke kahyangan ya


Sepercik kata-kata yang indah cukup di mata

Mandalawangi.
Tempat terindah yang pernah terjamah
Di antara sekumpulan Edelweis yang cantik
Menjadi kesatuan yang damai
Aku hanya merindukan tempat ini.
Mandalawangi
Gemuruh angin yang lembut memaksaku menahan dingin
Membuatku keluar dari persembunyian
Mandalawangi
Ku kenang kamu, ku rindu kamu
Paksa aku kembali merekam segala keindahan yang kau berikan
Mandalawangi
Jaga alammu sampai nanti aku kembali.