Tiada habis gue berpikir, tempat ini indah banget. Perjuangan naik gak sia-sia, meskipun di malam hari, keindahannya tak dirusak sang bulan. Malah tempat ini dan bulan memadu kasih, seakan-akan keduanya menyatu, beriringan dan bermesraan di tengah-tengah gue. Aku iri. Mereka tak memedulikan gue. Dan gue hanya bisa mangap melihat keindahan malam di tempat ini.
Tempat dimana seharusnya kita
merenung, membayangkan malam di tengah kebisingan siang yang mengganggu
tadinya. Atau harus mendiskusikan tentang hidup? Iya mendiskusikan berduaan
dengan alam yang lirih.
Nama tempatnya, Mandalawangi.
Tidur gue gak nyenyak, karena
sepanjang hari ditempa dengan hujan, badan gue linu seperti orang tua. Dan
entah kenapa, gue memutuskan bangun malam atau malah dini hari itu. Iya,
kira-kira jam 1 atau 2, gue bangun. Sleeping Bag gue agak lembab, dan itu membuat
sukses si Nicholas ini bangun. Bangun dengan kepala yang berat, hidung mampet.
Tadinya, gue hanya ingin tidur nyenyak sampai pagi, sampai matahari terbit dari
Timur bersamaan dengan bulan yang mendarat cantik di ufuk Barat.
Iya, rencana gue hanya tipuan
belaka. Di malam itu, gue bangun, keluar tenda, tempat dimana gue bisa
merasakan kehangatan di ketinggian yang membuat dingin. Temen gue sebelum tidur
bilang, “Hari ini full moon, lho. Tapi hujan, mungkin jadi gak keliatan, padahal gue nungguin itu.”.
Memang, tadinya sepanjang malam,
di Mandalawangi turun hujan yang agak deras. Dan sukses buat gue dan
temen-temen untuk meringkuk aja di bawah tenda, sampai akhirnya kami tidur
sebentar. Mungkin juga, gue hanya yang tidur sebentar.
Ternyata, pas gue keluar. Gak,
gue gak bisa berkata-kata. Pemandangan malam di tempat ini cantik. Gue melihat
ke atas, dan yah gue beruntung. Bulan purnama
bersinar benderang, menyinari gue dan temen-temen di Mandalawangi. Meskipun
dingin, angin menusuk gue secara perlahan,
meremas lembut bulu-bulu di sekitar badan, gak menyurutkan gue untuk
keluar lebih jauh.
Rizki, dia udah keluar duluan
ternyata, motret sana-sini. Namun modelnya belum ada, gue siap karena gue Nicholas. #dijorokin
Ternyata, yang lainnya sudah
bangun di dalam tenda, memasak di waktu dini hari. Membuat persediaan air
menipis saja. Sebagai menteri perairan di gunung, gue sebenarnya pengen banget
ngambil, tapi gue harus memberi kesempatan
kepada orang lain untuk melanjutkan perjuangan gue bukan?Menurut kalian,
gue jadi bijaksana gak sih? Pasti deh, gue sadar banget emang.
Gak gue sangka, para pendaki yang
lain malah teriak-teriak buat nanya skor akhir final liga Champions antara
Muenchen dan Dortmund. Mereka bersaut-sautan, melempar guyonan membuat
kebisingan di malam yang indah ini.
Gue dan yang lain malah asik foto–foto
aja. Gak akan mau ngelepas suasana yang indah ini, gue percaya setiap kegiatan
pasti membutuhkan record atau rekaman. Di mana, suatu saat, momen-momen ini
yang bakal gue ceritain atau gue kenang.
Ah, mungkin karena kesialan gue, malam
ini mengambil air lagi di aliran air. Saat jalan ke menelusuri aliran, gue
terpana, di depan gue terpampang pemandangan Gn. Salak di hiasi awan. Indah.
Gue gemeteran. Iya, itu karena gue memang masih kedinginan.
Berikut foto-fotonya, karena
kemampuan mengambil foto yang gue menurun ke level pemula, semua gambar diambil
teman-teman gue, entah Tebe atau Rizki.
bukan sponsor
Seperti biasa aja sih, ini dapet pesan dari Nicholas. "Jaga alam dengan baik yah, bumi sudah semakin tua."
Nicholasnya mau balik ke kahyangan ya
Sepercik kata-kata yang indah cukup di mata
Mandalawangi.
Tempat terindah yang pernah terjamah
Di antara sekumpulan Edelweis yang cantik
Menjadi kesatuan yang damai
Aku hanya merindukan tempat ini.
Mandalawangi
Gemuruh angin yang lembut memaksaku menahan dingin
Membuatku keluar dari persembunyian
Mandalawangi
Ku kenang kamu, ku rindu kamu
Paksa aku kembali merekam segala keindahan yang kau berikan
Mandalawangi
Jaga alammu sampai nanti aku kembali.