Jogja, Yogya, atau Djogja? Sama, gue juga masih bingung.
Apasih arti sebuah nama? Ya nama memang penting, jadi ga boleh menyepelekan
sebuah nama ya teman-teman. Seperti nama gue, banyak yang bilang aneh, tapi
orangnya ganteng, kok.
Kota ini lebih dikenal dengan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta, menurut buku pintar edisi 1996. Apa masih istimewa? Jelas masih,
tapi tergantung sih, kalo kalian ada yang pernah putus di sini sih, udah gak
istimewa lagi pasti.
Kok jadi ngawur?
Jadi, kota ini merupakan peleburan Negara Kesultanan
Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Karena pengucapan yang terlalu
panjang, maka kota ini sering disingkat dengan kata Jogja, Yogya atau DIY. Itu
menurut sumber yang gue baca, barusan.
Jogja punya banyak tempat wisata, namun gue dan Ryo memilih
berlibur ke Goa Pindul, dengan budget pas-pasan. Iya pas punya uang, karena
sehari Cuma makan sekali, itu juga udah ditampung pake Promag. Obat ini manjur
banget, gue jadi gak kelaperan selama liburan. Mantap.
“Ben, mau wisata apa aja, nih?” Tanya Ryo sesaat melihat
brosur Goa Pindul.
Gue langsung ngecek dompet dan bilang “Yang paling murah
aja.”
“Serius lo? Cuma caving basah doang?”
“Iya gapapalah, budget tipis ini.” Sembari tangan gue membuka lipatan-lipatan dompet.
Sebelumnya, kami mengarah ke Goa Pindul dibimbing oleh
sebuah alat yang bernama Galaxy Tab berukuran 7 inchi, yang sebelumnya jug ague
gak pernah megang alat ini. Jadilah gue mati gaya, sampai nanya terus ke Ryo.
Beberapa kali berhenti, untuk sekedar nanya ke warga pinggir
jalan.
“Goa Pindul ke arah mana ya, Bu?” Tanya gue
“Lurus aja dek, ikuti jalan, nanti juga ketemu.” Kata ibu
yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Kampret, kita berdua dibohongi kali ya ini, daritadi yang
terlihat Cuma pohon doang nih, Yo?”Gue yang kebingungan.
tuh hutan, kan?
“Eh noh Yo, ada petunjuk jalannya, ada tukang ojek lagi” Gue
emang agak cerewet.
“Pak, ke Pindul ke arah mana, ya?”
“Yaudah ikut kita aja.” Nah lho, ada bapak-bapak dan seorang
anak muda bilang begitu.
Entah kena pelet apa, kita berdua malah ngikutin
mereka. Duh gue parno. Jangan-jangan mereka penjahat yang bersembunyi di balik
wajahnya yang polos atau mungkin juga mereka itu teroris yang sedang nyamar,
lalu mereka mencari sepasang pengantin (perlu diketahui pengantin di dunia teroris
itu adalah sang umpan).
Kami berdua mengikuti mereka dari awal, dan sampai di tengah
perkebunan yang memanjakan mata kami. Surga.
Lalu, kami diajak berkelok-kelok melewati beberapa desa, dan
gue langsung nanya, “Yo, lo hapal jalan baliknya kan, ya?”
“Kagak, udah ikutin aja dulu.”
Dalam hati, “Kampreeeeet, anakmu masih perjaka, maaak..”
Goa Pindul memang jauh banget dari perkotaan, tidak
disarankan menggunakan angkutan lokal. Karena angkutan lokal hanya beroperasi
beberapa jam, tidak seharian penuh. Jika pengen ke tempat ini, harus bawa
kendaraan pribadi.
Kemudian, setelah kami membayar tiket masuk caving
basah. Kami diberikan rompi pelampung,
dan diharuskan menitipkan tas ke penjaga. Dan kita sudah siap, sudah pake
pelampung dan membawa ban masing-masing.
Dan kampret, di perjalanan gue baru sadar. “Yo, gue masih
bawa dompet lagi nih di kantong.”
“Ah dudul, mau basah-basahan malah bawa dompet.” Ryo agak
kesel.
“Cari plastik sono.” Kata Ryo memberi saran.
Perlu diketahui,
bahwa tiket kereta yang akan membawa kami untuk pulang sedang ada di dompet gue.
Matilah gue. Mau balik lagi nanggung kayak udah putus tapi masih minta balikan
judulnya ini mah. Niat kembali ke pos penjaga, gue urungkan.
Kenapa gue urungkan? Pertama, gue udah jalan lumayan jauh,
nyet. Kedua, memang jaraknya udah jauh, jadi gue males balik lagi. Ketiga, “Udah
gapapa, paling juga ga basah” Saran dari guide.
Mana ga basah, nyeeet. Airnya dalem, meskipun pake
pelampung, pasti akan basah juga iniiiih. Alhasil, gue sibuk mencari beberapa plastik
bekas, agar bisa digunakan untuk pelindung dompet.
mending iket cinta daripada plastik
Masalah dompet mari dilupakan, lekas lanjut ke caving.
Sebelum nyemplung, kita di-briefing dulu. Sepanjang bapaknya ngomong, gue baru
sadar. Ini kok isinya keluarga semua yang dateng, mungkin gue doang berdua yang
bukan berkeluarga. Asem attack.
Si bapak guide mulai nyemplung, kemudian disusul rombongan
keluarga yang bareng sama gue. Lalu gue, terakhir Ryo.
Siang itu, di matahari yang menyingsing. Ryo mengenggam
tangan gue dengan erat, erat sekali. Romantis banget. Seakan-akan gak mau lepas
dari gue.
TAPI ITU EMANG INSTRUKSI DARI GUIDENYA, MONYEEEET. KALIAN
GAK USAH LEBAY.
Oke sorry, capslock kepencet, gue masih gak terima kalo Ryo
memegang jemari gue karena sebuah paksaan seorang bapak guide. Sedih. Banget.
Gak terima. Oke, bercanda doang.
“Ben, lo gak ceritain cavingnya?” Kata pembaca yang budiman.
Dan itu, elo, ya elo yang lagi baca.
Gue gak bisa berkata apa-apa. Goa Pindul itu wisata Jogja
yang paliiiiiiiiiiiiing……….ga gue nikmatin. Bayangin aja, baru masuk goa-nya,
eh udah ada yang teriak, masuk lebih dalam lagi, teriaknya malah lebih kenceng,
ampe bilang sakit-sakit gitu.
Eh maaf, itu pilem bokep yang barusan gue tonton. Hehe.
Tapi, memang kenyataannya emang gitu, masuk ke dalam cuma ada
kelelawar dan teriakan gadis-gadis desa.” AAAAAAAAAAAAA.” Kayak gitu deh teriaknya, bayangin sendiri ya.
“Ben lo mau lompat kagak?” Kata Ryo yang asik nge-candid
gue.
“Kagak ah, gue bawa dompet. Nanti basah lagi.”
“Udah dompetnya gue pegang sini. Lo kalo mau lompat-lompat
aja.” Bilang Ryo perhatian. Sok sweet ya.
“Engga ah, balik aja udah. Pak, balik aja, Pak.” Gue ngomong
ke Ryo dan si bapak guide.
Nanggung.
Gue ke Goa Pindul dengan perasaan nanggung yang ga basah.
Cuma celana dalem gue doang yang basah. Gak terima.
Ryo, si tukang sewa ban, juga hati
DASAR DOMPET SIALAN!!!!